ULAMA DAN POLITIK


Yudit Kandhias S.

Ulama dalam masyarakat islam begitu terhormat, hal ini berkaitan dengan sabda Nabi Muhammad Saw. bahwa ulama adalah warasah al ‘anbiya (pewaris para nabi). Ulama mewarisi tugas para nabi dalam berdakwah menyampaikan yang hak, dan turut serta memerangi yang bathil, amar ma’ruf nahi munkar,  menyampaikan yang benar kepada masyarakat maupun kepada penguasa. Tugas para ulama tidak melulu dalam mengkaji kitab-kitab para ulama salaf dan khalaf saja, namun mereka harus mengkaji pula berbagai persoalan umat termasuk di dalamnya masalah politik.

Ketika ulama kemudian memutuskan menarik diri dari persoalan dunia termasuk politik, kemudian memfokuskan diri hanya pada hubungannya dengan Allah, maka hal ini sangat bertentangan dengan syariat. Adakah akhirat dituju tanpa melalui dunia? jawabannya tidak.

Sungguh setiap muslim tidak hanya dituntut kesalehan individual, tapi juga kesalehan sosial, adakah sosial itu tidak membahas politik sedang politik itu kemudian berhubungan dengan siapa yang akan memerintah umat. Meninggalkkan politik secara keseluruhan bagi seorang ulama adalah kiamat bagi umat, ketika tidak ada lagi pencerahan politik dengan haluan-haluan dan rambu-rambu syariat maka umatlah yang akan mengalami kerugian besar.

Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah As-Siyasah. Oleh sebab itu, di dalam kitab-kitab para ulama dikenal istilah As-Siyasah As-Syar’iyyah. Dalam Kamus Al-Muhith, Siyasah berakar kata sâsa-yasûsu. Dalam kalimat Sasa ad-dawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya).

Rasulullah Saw. sendiri melafalkan kata siyasah (politik) dalam sabda beliau:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء، كلما هلك نبي خلفه نبي، وإنه لا نبي بعدي، وسيكون خلفاء »  رواه البخاري و المسلم.

Artinya: Bani Israil dulunya (urusan mereka) diatur oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantikannya. Dan sesungguhnhya tidak ada nabi setelahku, (tetapi) yang akan ada adalah para khalifah. (HR. Bukhari dan Muslim).

Melalui hadis tersebut jelaslah bahawa politik atau siyasah itu bermakna mengatur
urusan masyarakat.

Rasulullah Saw. Bersabda dalam hadisnya :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من لم يهتم بأمر المسلمين فليس منهم، ومن لم يصبح ويمس ناصحا لله ولرسوله ولكتابه ولإمامه ولعامة المسلمين فليس منهم» رواه الطبراني.

Artinya: “Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan Kaum Muslimin maka ia bukan termasuk dari golongan mereka, dan barang siapa yang terjaga di pagi hari dan di sore hari dan tidak memberikan nasehat karena Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, dan semua kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)”. (HR. Thabrani).

Imam Ghazali menulis dalam kitabnya (Ihya' Ulumuddin) bahwasanya politik ataupun al-siyasah dalam memperbaiki Makhluk Allah dan memberi petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat terurutkan ke dalam empat tingkatan:

1.) Martabat tertinggi adalah siyasah para nabi, dan hukum mereka berlaku kepada semua golongan baik khas  maupun awwam, zahir maupun batin.

2.) Siyasah para khalifah, raja dan sultan, dan hukum mereka juga berlaku kepada semua golongan baik khas maupun awwam, akan tetapi terbatas dalam hukum zahir saja bukan batin.

3.) Siyasah al-ulama billah azza wajal wa bi dinihi yang merupakan pewaris para nabi (Ulama Tasawuf yang menggabungkan antara hakikat dan syariat), dan hukum mereka hanya berlaku kepada golongan khas saja serta terbatas pada hukum batin, kerana golongan awam tidak mampu untuk mengambil faedah dari mereka.

4.) Siyasah para da’i, dan hukum mereka hanya berlaku pada golongan awwam dan terbatas pada hukum batin saja.

Dan siyasah yang paling mulia selepas nubuwwah adalah mengutamakan peyebaran ilmu yang bermanfaat serta memperelok jiwa manusia daripada akhlak mazmumah yang membinasakan, dan juga menunjuki manusia untuk berakhlak mahmudah yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan di akhirat kelak.

Pemikiran umat dalam bidang politik haruslah dijaga dan dituntun, tidak bisa dibiarkan liar mengikuti hawa nafsu serta mengikuti pemikiran-pemikiran menyimpang yang bertentangan dengan syariat. Ulama yang faham mana yang bertentangan dengan syariat dan mana yang tidak harus segera bertindak ketika mengetahui adanya gejala-gejala politik berbahaya yang akan dihadapi umat ke depannya. Dengan begitu kejernihan pemikiran umat dapat dipertahankan.

Berjihad politik dengan menegakkan kesadaran politik yang santun dan bersih, meninggalkan hal-hal kotor. Tetapi sekali lagi, dewasa ini banyak orang yang menyampaikan sesuatu berlandaskan syariat dianggap melakukan politik kotor dengan berdalil bahwa negara ini tidak berlandaskan hukum kelompok tertentu. Hal-hal seperti inilah yang menjadi sasaran jihad para ulama, agar tiang kebenaran syariat berdiri pada tempatnya.

Ulama tidak boleh tinggal diam ketika melihat umat abai terhadap syariat padahal mereka masih menganggap syariat itu sebagai bagian dari agamanya, dan juga ketika umat lalai dan mengambil syariat yang sesuai dengan nafsunya serta meninggalkan bagian syariat yang lainnya.

Sungguh syariat haruslah diambil keseluruhan dan tidak bisa dipilah-pilah berdasarkan hawa nafsu.

Selama politik masih dihadapkan pada umat, selam politik masih berkaitan dengan hidup umat, maka disitulah ulama hadir mengamalkan fungsinya sebagai warasah al ‘anbiya. Dan di sisi lain bahwa stabilitas nasional mustahil akan terwujud jika setiap elemen bangsa tidak berjalan secara sinergis dengan satu tekad dan cita-cita untuk membangun bangsa dan Negara yang tercinta ini menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.

Wallahu ‘alam.

Komentar

Postingan Populer